Rabu, 28 Januari 2009

Dilema Kebijakan Sosial

DILEMA KEBIJAKAN SOSIAL
(Oleh: Masrizal *)

Kebijakan sosial yang ditujukan untuk membangun kesejahteraan sosial masyarakat, seringkali dihadapkan kepada dilema etis. Salah satu dilema, muncul ketika distribusi kesejahteraan harus dilakukan secara luas, padahal sumber yang tersedia sangat terbatas. Kesejahteraan tidak didistribusikan secara merata berarti melanggar kewajiban, sebaliknya mendistribusikan kesejahteraan secara merata tidak bisa dilakukan secara maksimal karena adanya sumber yang terbatas.
Dilema seperti ini sering terjadi di mana saja, terutama bagi negara-negara berkembang yang masyarakatnya belum mencapai tingkat kesejahteraan secara memadai. Indonesia adalah salah satu contohnya. Sayangnya, dilema tersebut tampaknya juga dialami oleh bangsa Indonesia seperti ditunjukkan dalam anggaran sosial tahun 2009.

Menurut Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2009 yang dibacakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan wakil Rakyat beberapa waktu yang lalu, beberapa anggaran program sosial mengalami kenaikan. Contohnya, pemerintah menaikkan gaji pegawai negeri dan pensiun dengan menambah alokasi anggaran belanja pegawai menjadi Rp 143,8 triliun –naik Rp 20,2 triliun dibanding tahun ini. Dan yang lebih mengejutkan, anggaran pendidikan melonjak tajam dari Rp 189 triliun tahun ini, menjadi Rp 224,4 triliun tahun depan. “Saya pun terkaget-kaget dan hampir pingsan,” kata Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo (Koran Tempo, 15/08/2008).
Sikap pemerintah untuk menaikkan alokasi anggaran untuk urusan pegawai negeri, pensiun, dan pendidikan tersebut adalah sebagai bentuk pemerataan distribusi kesejahteraan. Dengan anggaran yang tinggi, berarti kesejahteraan dapat didistribusikan secara merata kepada seluruh masyarakat dibandingkan sebelumnya. Tetapi sayangnya, akibat rencana kenaikan anggaran kesejahteraan ini, pemerintah mengalami defisit. Defisit anggaran membengkak dari 1,5 persen menjadi 1,9 persen atau sekitar Rp 20 triliun. Meskipun anggaran program sosial bukan satu-satunya penyebab defisit, tetapi setidaknya turut andil terhadap kondisi defisit tersebut. Terjadinya defisit anggaran ini menandakan adanya keterbatasan sumber (dalam hal ini anggaran) kesejahteraan yang dimiliki oleh pemerintah.

Menghadapi Dilema
Dilema keadilan seperti yang terjadi di atas tentu sebagai kondisi yang tidak menguntungkan. Alih-alih kesejahteraan dapat didistribusikan secara merata dan adil, ekonomi negara justru mengalami guncangan. Tetapi memang dalam kondisi dilematis seperti itu, siapapun akan merasa kebingungan untuk mengambil kebijakan yang tepat.
Namun demikian, tampaknya cukup menarik untuk mengungkap suatu strategi bagaimana menghadapi dilema keadilan terutama dalam konteks keterbatasan sumber seperti yang ditunjukkan dalam kasus di atas. Beberapa filosof mempunyai pemikiran tentang apa yang disebut distributive justice (keadilan distributif). Menurut teori ini, adanya sumber kesejahteraan yang terbatas pada dasarnya dapat didistribusikan berdasarkan empat kriteria, yakni persamaan (equality), kebutuhan (need), kompensasi, dan kontribusi.
Pertama, kesejahteraan didistribusikan secara merata kepada siapa saja karena setiap orang pada dasarnya mempunyai hak yang sama untuk hidup sejahteran. Terkait hal ini, John Rawls (1971:302) dalam karyanya yang termasyhur, A Theory of Justice mengungkapkan setiap orang memiliki hak yang sama untuk dapat hidup sejahtera. Sehingga kesenjangan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa untuk kesejahteraan seluas-luasnya dari kelompok masyarakat yang kurang beruntung (disadvantage groups). Dengan demikian, menurut Rawls pemerintah harus berperan secara adil mendistribusikan kesejahteraan secara merata ke seluruh warga negara karena kesejahteraan pada dasarnya adalah hak bagi setiap orang.
Ketika sumber yang tersedia terbatas, namun harus didistribusikan secara merata tentu mempunyai konsekuensi sumber yang terbagi tidak dalam jumlah yang proporsional. Seharusnya suatu kelompok masyarakat bisa memperoleh bantuan besar, namun karena dibagikan secara merata masing-masing hanya memperoleh sedikit bagian. Cara seperti ini sering diterapkan di Indonesia misalnya Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dibagi-bagi secara merata dengan jumlah yang lebih sedikit sehingga orang miskin yang tidak termasuk dalam daftar penerima ikut menerima BLT.
Kedua, distribusi sumber yang terbatas dapat juga didasarkan kepada tingkatan prioritas kebutuhan masyarakat. Kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya mendesak dan primer lebih didahulukan daripada kebutuhan yang kurang mendesak dan bersifat skunder. Pemerintah ada baiknya membuat ukuran, mana kebutuhan yang dinilai lebih mendesak dan mana yang tidak ketika menerapkan kebijakan sosial dengan sumber yang terbatas. Misalnya, pembangunan gedung sekolah yang roboh lebih didahulukan daripada menghabiskan anggaran untuk belanja kebutuhan peralatan kantor.
Pemangkasan anggaran di departeman-departeman yang dinilai kurang penting dan tidak mendesak sehingga bisa ditunda pada dasarnya dapat dilakukan pemerintah sehingga kebijakan-kebijakan sosial yang sifatnya lebih mendesak seperti bidang pendidikan dapat didahulukan.
Ketiga, adanya sumber yang terbatas dapat dinyatakan adil ketika sistem distribusi berdasarkan kepada skema kompensasi. Kesejahteraan lebih diutamakan didistribusikan kepada kelompok-kelompok masyarakat minoritas yang selama ini menjadi korban penindasan dan ketidakadilan sosial dibandingkan kelompok yang lain. Kelompok masyarakat yang kurang beruntung ini menjadi prioritas dari penerima program kesejahteraan sosial. Misalnya, orang miskin di pemukiman kumuh, para pengamen dan gelandangan, orang miskin di daerah pedalaman, dan lain sebagainya.
Keempat, kesejahteraan dari sumber yang terbatas dapat juga didistribusikan berdasarkan skema kontribusi. Sumber kesejahteraan yang terbatas pada prinsipnya dapat diperoleh oleh siapa saja tetapi bagi yang mampu membayarnya. Sistem seperti ini tentu sangat cocok diterapkan dalam konteks masyarakat yang mempunyai tingkat ekonomi cukup memadai. Skema kontribusi dijadikan sebagai salah satu tolak ukur keadilan dalam mendistribusikan sumber yang terbatas.
Akhirnya, dalam ketersediaan sumber yang terbatas namun tuntutan distribusi yang melampaui batas kebijakan sosial sejatinya dapat mendistribusikan sumber berdasarkan salah satu dari empat kriteria di atas. Dengan demikian, yang disebut adil pada dasarnya tidak selamanya semua orang memperoleh bantuan. Sebab, keadilan pendistribusian sumber yang terbatas dapat ditentukan secara sah berdasarkan empat kriteria yang dijelaskan di atas. ©

(*Masrizal. Pengamat Kebijakan Sosial, Mahasiswa Program Pascasarjana Sosiologi Konsentrasi Kebijakan Dan Kesejahteraan Sosial UGM Yogyakarta. HP 081360428473)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar