Sabtu, 15 Januari 2011

APBD UNTUK SIAPA

Written by Masrizal, S.Sos.I, MA, Alumni Pasca Sarjana, Jurusan Sosiologi Kebijakan dan Kesos UGM Yogyakarta, Asisten Dosen Pada Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Konsentrasi Kesos IAIN Ar-Raniry, dan Dosen Pada Prodi Sosiatri Unida.   
Thursday, 18 March 2010 19:09
REPRO| FORUMKAMI.COM DARI COVER BUKU TERBITAN RESIS BOOK
ACEH adalah salah satu provinsi di Indonesia yang tergolong memiliki sumberdaya alam yang melimpah. Namun hasil yang melimpah tersebut tidak dapat dirasakan oleh semua masyarakat Aceh, khususnya warga masyarakat yang berada di gampong-gampong (pedesaan) yang umumnya berada dibawah garis kemiskinan. Tapi yang menariknya apabila kita duduk di warung kopi atau tempat umum lainnya kita akan mendengarkan sesuatu yang membanggakan dari masyarakat, dengan ungkapan “kita harus bersyukur kepada Allah SWT, sampai dengan detik ini kita warga Aceh walaupun semiskin-miskinnya masih bisa makan 3 kali sehari”. Mencermati dari ungkapan masyarakat ini kita akan timbul tanya, jadi anggaran belanja daerah ini untuk siapa?

Apabila kita membaca berita akhir-akhir ini, sangatlah menyedihkan kita semua, dimana masih adanya Alokasi Dana Gampong (ADG) dan Bantuan Keuangan Peumakmu Gampong (BKPG) yang diduga disunat oleh oknum aparatur pemerintah dengan dalih untuk uang minum (Harian Aceh, 15 Maret 2010). Tidak hanya itu, di koran Serambi Indonesia juga isu yang tidak asing lagi dikalangan kuping masyarakat Aceh tentang adanya perbedaan angka alokasi anggaran antara eksekutif dengan legislatif, masalah alokasi anggaran Bantuan Keuangan Peumakmu Gampong (BKPG) yang berkurang dari pagu sebelumnya yang diusulkan oleh gubernur (eksekutif) untuk tahun 2010 sebanyak 750,5 Milyar akhirnya harus  dipangkas oleh tim Pokja Badan Anggaran Dewan (legislatif) menjadi 318,9 Milyar, atau berkurang  431,6 Milyar, dengan alasan anggaran yang dipangkas dimanfaatkan untuk program lain. tidak hanya itu, Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) juga dipangkas dari usulan gubernur 349 Milyar menjadi 275 Milyar atau berkurang 74 Milyar (Serambi Indonesia, 09 Maret 2010).

Sehingga beberapa lembaga swadaya masyarakat lokal yang fokus pada pembangunan masyarakat menyuarakan kebijakan pemimpin Aceh tidak pro poor seperti: LSM LPPM Aceh, Forum Mitra Gampong Aceh, Yayasan Rumpun Bambu Indonesia, Forbes PG Aceh Besar, Gerak Aceh, Forum LSM Aceh, Aceh Movement Society, Walhi Aceh, Pugar Aceh, Impact, Forum Keuchik Pidie, Sain Aceh Selatan, Convis Aceh, Jaringan Komunitas Adat Aceh (JKMA),WCP, KPPK dan Fodgab Aceh Besar  yang menilai kebijakan eksekutif dan legislatif yang tidak berpihak kepada rakyat dengan tidak mengakomodir Bantuan Keuangan Peumakmue Gampong (BKPG) (Serambi Indonesia, Jumat, 12/3/10). Padahal secara jelas program BKPG menurut  para LSM, sangat membantu pembangunan di tingkat gampong.

Melihat ini semua tidak salah apabila dalam bukunnya  Eko Prasetyo yang menyatakan bahwa “orang miskin dilarang sakit”, dan “orang miskin dilarang untuk pintar.” Namun di sisi lain pemerintah mengharapkan agar masyarakat miskin untuk berusaha, dengan tidak bermalas-malasan, tetapi hak mereka sebagai warga negara tidak digubris, Apakah memang seperti ini jalan untuk menuju kemajuan pembangunan masyarakat? Sedangkan dalam UUD 1945, pasal 34 ayat (1), mengamanatkan kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Bagi fakir miskin dan anak terlantar seperti yang dimaksud dalam undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial sebagai perwujudan pelaksanaan kewajiban negara dalam menjamin terpenuhinya hak atas kebutuhan dasar warga negara yang miskin dan tidak mampu.

Masalah lain yang tak kalah hebohnya di masyarakat sekarang adalah pemadaman listrik. Namun itu semua belum terjawab hingga sekarang, kemanakah pejabat negeri ini?, dan apa yang mereka lakukan untuk kesejahteraan rakyatnya? Sudah tiga tahun lebih masa kepemimpinan Irwandi Nazar (IRNA), yang dipilih secara demokrasi pertamanya di Aceh belum juga menampakkan perubahan yang berarti bagi masyarakat. Begitu juga dengan legislatif yang terpilih pada April 2009 yang lalu yang gencar-gencarnya menyuarakan isu kesejahteraan sosial, tapi belum nampak wujud nyatanya.

Oleh sebab itu maka sekarang kita mengupayakan agar adanya masukan untuk Perencanaan anggaran partisipatif karena rakyat merupakan pelaku aktif dalam proses pembangunan, dan partisipasinya amat diperlukan dalam pro poor budget, karena ini sangat penting untuk menggali informasi yang memastikan suara masyarakat miskin dalam penyusunan dan penetapan anggaran. Penggalian informasi dapat dilakukan dengan metode partisipatif dalam analisis kemiskinan, seperti metode Participatory Poverty Asessment (PPA) atau Analisis Kemiskinan Partisipatif.

Menurut Subardin, dari sisi rasionalitas alokasi anggaran harus sesuai dengan pendekatan kinerja. secara teknis kesalahan terjadi terutama dalam penentuan output dan outcomes yang ingin dicapai melalui belanja pemerintah. Tetapi ada kesalahan yang lebih mendasar ketimbang masalah teknis tersebut yaitu: (1) asumsi yang keliru mengenai anggaran itu sendiri, (2) pemikiran jangka pendek (terutama dari sisi cash-flow) mengenai dampak yang ingin diperoleh dari kebijakan anggaran, dan(3) dari sisi proses.

Pertama, kesalahan asumsi yang terutama adalah menempatkan anggaran sebagai milik pemerintah yang pengeluarannya menjadi hak prerogratif elit-elit di pemerintahan dan di parlemen. Sebagai dampaknya, maka alokasi anggaran 90% belanja aparatur dan 10% belanja publik dianggap hal yang wajar. Karena 90% anggaran dianggap sebagai milik mereka, dan sisanya yang 10% dianggap sebagai belas kasihan buat masyarakat.

Kedua, pemikiran jangka pendek mengenai dampak yang ingin diperoleh dari kebijakan mengenai anggaran, tercermin dari orientasi untuk meningkatkan pendapatan anggaran daerah (PAD). Usaha meningkatkan PAD dengan menarik retribusi dari berbagai sumber tanpa kejelasan rasionalitasnya tentu saja keliru. Selain itu, kebijakan meningkatkan PAD melaui retribusi dapat menghambat orang miskin mengakses pelayanan publik yang bersifat mendasar yang memungkinkan ia dapat tumbuh (misalnya pendidikan dan kesehatan).

Terakhir, dalam sisi proses penyusunan anggaran adalah menempatkan orang miskin hanya sebagai penerima manfaat (beneficiary) dari program. Orang miskin karena dianggap tidak memiliki kemampuan yang memadai, relatif tidak dilibatkan dalam proses-proses anggaran dan tidak diberi kesempatan untuk memberikan umpan balik terhadap pelaksanaan dan dampak dari belanja pemerintah. Padahal dalam setiap sistem, monitoring dan evaluasi serta umpan balik terutama dari kelompok sasaran program sangat penting. Untuk itu perlu dikembangkan metode bagi orang miskin untuk dapat memonitor dan mengevaluasi anggaran.

Melihat fenomena ini semua, tampaknya kita harus mengkampanyekan anggaran sebagai sumber daya milik bersama. Karena itu merupakan sumber daya publik, maka perbincangan mengenai sumber dan alokasi belanja harus menjadi milik publik. Kalaupun pemerintah dan wakil rakyat terlibat dalam perencanaan dan penganggaran, maka keterlibatan mereka dalam perencanaan dan penganggaran harus dalam kerangka peran dan fungsinya yaitu mengurangi kemiskinan dan mengurangi ketimpangan pendapatan, karena itu merupakan kebijakan yang harus dilaksanakan oleh mereka sebagai policy maker, akan tetapi kita harapkan agar kebijakannya lebih pro poor. | Masrizal, S.Sos.I, MA,  Alumni Pasca Sarjana, Jurusan Sosiologi Kebijakan dan Kesos UGM Yogyakarta, Asisten Dosen Pada Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Konsentrasi Kesos IAIN Ar-Raniry, dan Dosen Pada Prodi Sosiatri Unida. 
Hak Cipta Terlindungi © Copyrights by The Aceh Institute | Bila mau mengutip, mengacu, menggunakan, dan menyebarluaskan isi website ini harus sesuai seizin penulis asli dan "Aceh Institute" sebagai sumber otentik.| WWW.ACEHINSTITUTE.ORG| 1803010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar