Jumat, 14 Januari 2011

Masalah sosial di Negeri Syariat

Masalah Sosial di Negeri Syariat
Oleh: Masrizal, MA
Peringatan pergantian tahun baru 2011 di ibukota Provinsi Aceh, tidak hanya diikuti dengan kegiatan doa bersama di masjid atau di mushala-mushala semata, tapi juga disambut dengan kegiatan hiburan yang melanggar syariat. Kegiatan hiburan ini dilakukan di salah satu hotel berbintang empat yang termegah di Kota Banda Aceh (lihat Koran Rajapost, edisi 03-09 Januari 2011). Kegiatan hiburan yang melanggar syariat semacam ini bagi disiplin Ilmu Kesejahteraan sosial disebut bagian dari masalah sosial, karena kegiatan hiburan ini sangat meresahkan masyarakat Aceh yang sudah menganut hukum Syariat Islam.

Menurut Weinberg masalah sosial adalah situasi yang dinyatakan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai oleh warga masyarakat yang cukup signifikan, dimana mereka sepakat dibutuhkannya suatu tindakan untuk mengubah situasi tersebut. Dari defenisi ini dapat kita pahami bahwa keberadaan masalah sosial dilihat sebagai konstruksi sosial dan perlunya ada pemecahan masalah.
Perkembangan masalah sosial yang semakin tidak karuan membuat nama baik Aceh yang sudah diresmikan sebagai provinsi Syariat Islam menjadi tercemar di mata Indonesia khususnya dan dunia umumnya, yang disebabkan oleh kurangnya kontrol dari pemimpin dan masyarakat, apakah itu pemimpin ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Sebenarnya harumnya provinsi Aceh di mata dunia tidak terlepas dari Syariat Islam yang telah kita miliki. Seharusnya kita berbangga dengan Syariat Islam yang kita miliki sekarang, tidak malah merusaknya dengan berbagai macam kegiatan hiburan yang melanggar syariat.
Kalaulah kita melihat kebelakang bahwa sejarah syariat Islam tidak terlepas dari sosok Tengku Muhammad Daud Beureuh yang pernah meminta kepada Presiden RI pertama, Soekarno, agar Aceh diberikan status daerah Syariat Islam, walaupun akhirnya Ia kecewa dengan sikap Soekarno yang tak kunjung memberikan. Namun perjuangan Daud Beureuh tidak terhenti ditengah jalan tapi dijalankan oleh generasi selanjutnya, dengan dibuktikan pada tahun 2003, apa yang didambakan Daud Beureuh akhirnya terwujud melalui presiden Megawati Soekarno Putri, meskipun didalamnya ada unsur politik ketika pemberian syariat Islam tersebut. Namun kita jangan melihat unsur politiknya, akan tetapi yang kita lihat adalah esensi dari Syariat Islam itu sendiri.
Syariat Islam
Menurut Alyasa’ Abu Bakar, (2005: 225-282), Dasar hukum pemberlakuan Syariat Islam di Aceh adalah undang-undang RI nomor 11 tahun 2006. Undang-undang ini lahir amanah dari pasal 225 Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang berisi “ Pertama, Syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syariah dan akhlaq. Kedua, syariat islam meliputi ibadah, hokum keluarga, hokum perdata, hukum pidana, peradilan, dakwah syiar dan pembelaan Islam.
Ketiga, pelaksanaan Syariat Islam sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 dan 2 diatur lebih lanjut dalam Qanun Aceh. Dan sampai saat ini telah adanya Qanun Aceh sebagai bentuk aplikasi pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang berfungsi sebagai pengendalian sosial masyarakat, seperti diantaranya Qanun Nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan aqidah, ibadah dan syiar Islam, Qanun nomor 12 tahun 2003 tentang minuman Khamar dan sejenisnya, Qanun Nomor 13 tahun 2003 tentang Maisir (perjudian) dan sejenisnya, Qanun Nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat (pergaulan) dan qanun-qanun lainnya.
Dewasa ini implementasi terhadap qanun (peraturan daerah) tersebut belum kunjung terealisasi sebagaimana yang diharapkan, sehingga tidak salah apabila ada pendatang mengucapkan Syariat Islam di Aceh hanya sebatas simbol semata. Konsep syariat Islam di bumi Serambi Mekkah idealnya harus menjadi kekuatan baru dalam memperjuangkan agama Islam. Sangatlah merugi kita sebagai masyarakat yang mayoritas beragama Islam tetapi tidak mampu menjaga keutuhan tegaknya syariat. Sehingga kita harus kembali intropeksi diri dengan tidak menyalahkan satu sama lain. Walau mungkin sering terdengar dikuping kita banyak budayawan Aceh mengutarakan “pemimpin dan masyarakat sekarang tidak jauh lebih baik dari pemimpin dan masyarakat Aceh dahulu” kalaulah memang kita jauh tertinggal dari segi penerapan Syariat Islam, jadi sekarang marilah kita berbenah kembali mewujudkan Aceh yang bersyariat, sesuai dengan tuntutan agama Islam, dengan tidak hanya sebatas baliho dan spanduk semata yang ada dijalan raya dan di kantor-kantor instansi pemerintah.
Untuk mengantisipasi itu semua kita harus seayun selangkah membangun kekuatan baru antara pemimpin dan masyarakat, dengan melakukan dua strategi dalam penanganannya. Pertama, ada kemauan dari pemimpin dan masyarakat untuk sebuah perubahan. Dalam hal ini kita mengharapkan pemimpin dan masyarakat memiliki kesadaran untuk berubah dari apa yang meresahkan masyarakat (masalah sosial) yang menimbulkan kerugian bagi pemimpin dan masyarakat itu sendiri. Kita harus mendukung bersama apa yang diungkapkan kepala dinas Syariat Islam, bapak Rusjdi Ali Muhammad, yang menyatakan jika terbukti di hotel Hermes Palace adanya praktik Seks Bebas, maka akan ditutup izin operasi mereka dari Aceh, karena telah merusak tatanan syariat islam. (pernyataan ini dikutip dari koran Raja Post edisi 03-09 Januari 2011)
Kedua, pengendalian sosial. Dalam setiap masyarakat senantiasa terdapat suatu sistem pengendalian sosial tertentu, yang sesuai dengan karakteristik masyarakat tersebut yang merupakan suatu kearifan lokal yang sangat dijunjung tinggi oleh setiap anggota masyarakat. Tujuannya agar warga masyarakat mematuhi norma-norma yang telah disepakati bersama, supaya hidup tertib, aman dan teratur. Akan tetapi memang dalam kehidupan setiap individu memiliki pendirian yang berbeda-beda bagi masing-masing individu, bahkan tidak sama pandangannya mengenai hidup tertib, aman dan teratur tersebut, oleh karena itu untuk menjaga keseimbangan masing-masing individu tersebut diperlukan suatu pedoman prilaku yang dinamakan dengan norma dan kaidah.
Menurut Soekanto, (1983:67), Norma atau kaidah merupakan patokan-patokan, batasan-batasan atau pedoman-pedoman perihal tingkahlaku atau prikelakuan yang diharapkan. Secara garis besar norma-norma tersebut dapat dibedakan kedalam kaidah kepercayaan, kesusilaan, kesopanan dan hukum. Kalaulah sudah terdapat norma-norma dalam masyarakat, maka untuk terjamin pelaksanaannya diperlukan suatu mekanisme penguatan dan penegakan yang dinamakan dengan sistem ketahanan dan pengendalian sosial (social control).
Masyarakat Aceh meyakini bahwa syariat adalah seperangkat norma dan nilai yang bersifat total dan komprehensif yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik itu personal maupun sosial kemasyarakatan. Dengan demikian permasalahan sosial yang terjadi dewasa ini akan mampu dibendung oleh pemimpin (eksekutif, legislatif, yudikatif) dan masyarakat sendiri dengan menerapkan dua hal di atas, kalaulah tidak dibangun sinergi demikian maka syariat islam yang diagung-agungkan selama ini hanya ada diatas kertas putih yang bertintakan hitam. Semoga apa yang dicita-citakan selama ini tercapai, yakni mewujudkan Aceh yang Baldatun Thaiyyibatun Warabbul Ghafur, amien.

Penulis: pemerhati masalah sosial dan dosen sosiologi Fisipol Unsyiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar