Jumat, 14 Januari 2011

Kesejahteraan Sosial yang Terabaikan

Kesejahteraan Sosial yang Terabaikan
Disusun oleh: Masrizal
Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Pengertian lain juga dapat dikembangkan dari hasil Pre-Conference Working for the 15th International Conference of Social Welfare (Sulistiati, 2004: 25) yakni:
“Social welfare is all the organized social arrangements wich have as their direct and primary objective the well being of people in social context. It includes the broad range of policies and services wich are concerned with various aspects of people live thir income, security, health, housing, education, recreation, cultural tradition, etc.”
   “Kesejahteraan sosial adalah keseluruhan usaha sosial yang terorganisir dan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat berdasarkan konteks sosialnya. Di dalamnya tercakup pula unsur kebijakan dan pelayanan dalam arti luas yang terkait dengan berbagai kehidupan dalam masyarakat, seperti pendapatan, jaminan sosial, kesehatan, perumahan, pendidikan, rekreasi budaya, dan lain sebagainya”

Membaca berita harian Serambi Indonesia tentang “Tak Adanya Anggaran Untuk Panti Asuhan di Pidie” menjadi hal yang menarik kita angkat, khusus bagi pengamat kebijakan sosial atau alumnus Kesejahteraan Sosial,  khususnya warga Aceh dan Indonesia secara umum, karena hal ini sangat bertentangan dengan Undang-undang  No. 11 tahun 2009, tentang Kesejahteraan Sosial. Kepala Dinas sosial Kabupaten Pidie, Ir. Saiful Mukhlis, mengatakan kepastian tidak mendapat dana operasional bagi 23 panti asuhan dan dua lembaga pemasyarakat yang diusulkan sebesar 77 Juta Rupiah yang diusulkan dicoret dalam APBK 2010. Sebenarnya yang diinginkan dalam konsep kesejahteraan sosial adalah terpenuhinya kebutuhan material, spritual dan sosial agar warga negara dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri dan melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik (Serambi Indonesia, 08 Maret 2010).
Pembangunan ekonomi yang tidak berdampak kepada kesejahteraan inilah yang disebut oleh Midgley (1995) sebagai “distorsi pembangunan” (distorted development). Artinya meskipun pembangunan ekonomi meningkat sangat pesat hal ini tidak mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Dalam realitasnya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh segelintir dan sekelompok orang saja. Pada dasarnya ini adalah sistem ekonomi kapitalis yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi sedangkan kesejahteraan masyarakat diakhirkan. Pada masa orde baru Presiden Soeharto dikenal sebagai pendukung gagasan ini sehingga pembangunan diarahkan kepada stabilitas ekonomi. Seperti teori trickel down effect, Soeharto percaya bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan sendirinya akan berdampak terhadap kesejahteraan rakyat. Meskipun pada kenyataannya kesenjangan sosial justru terjadi, misalnya  antara Jawa-luar Jawa, desa-kota, Jakarta-luar Jakarta dan seterusnya. Dalam trilogi pembangunan lebih mengutamakan stabilitas terlebih dahulu, sedangkan pertumbuhan dan pemerataan dilakukan belakangan. Sehingga pembangunan sosial dilakukan dengan simbol growth first and distribution later (Sumodiningrat, 2007). Kesenjangan terjadi karena ‘kran” yang diharapkan dapat meneteskan kesejahteraan ke bawah justru mampet dan tidak mengalir ke bawah sama sekali. Kegagalan yang terjadi dalam pandangan ini melahirkan kritik dari berbagai pihak.
Dengan demikian, tugas terbesar bangsa untuk konteks saat ini adalah melakukan berbagai upaya untuk mensejahterakan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat (community empowerment), dalam disiplin ilmu pekerjaan sosial merupakan salah satu metode untuk mengurangi masalah sosial, seperti kemiskinan dan pengangguran. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila program pengembangan masyarakat pada dasarnya sebagai bentuk pengabdian terhadap masyarakat. Karena pemberdayaan masyarakat pada dasarnya dilakukan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
James Midgley (1995:5) dalam karyanya yang berjudul Social Development The Development Perspective in Social Welfare adalah salah satu tokoh yang berusaha membumikan istilah kesejahteraan dalam tiga ciri-ciri. Pertama, apabila masalah-masalah sosial dapat diatasi dengan baik; kedua, ketika kebutuhan-kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi; terakhir, jika peluang-peluang sosial dalam masyarakat terbuka secara lebar.
Jika kita merujuk pendapat Midgley ini, berarti sejahtera adalah: Pertama, ketika masalah-masalah sosial dalam masyarakat dapat diatasi dengan baik. Misalnya kemiskinan, pengangguran, kelaparan, kekeringan, musibah banjir dan lain sebagainya. Baik itu masalah pada level individu, keluarga, kelompok dan level masyarakat.  Masih tingginya angka kemiskinan dan pengangguran ataupun berbagai musibah tidak tertangani secara baik di negeri ini menandakan bahwa kesejahteraan masyarakat belum terpenuhi.
Kedua, kesejahteraan juga ditandai dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Tidak ada lagi penduduk miskin dan gelandangan yang terlantar, tidak ada lagi warga yang terabaikan haknya sehingga terpaksa mengemis dan lain sebagainya. Pemenuhan kebutuhan ini bisa dalam bentuk kebijakan sosial yang memberikan perlindungan kepada kelompok masyarakat kurang beruntung (disadvantage groups). Terakhir, peluang-peluang sosial seperti lapangan kerja yang luas, kesempatan akses pelayanan publik (misalnya pendidikan dan kesehatan) yang lebar bagi penduduk miskin adalah hanya sekelumit contoh indikator kesejahteraan. Sehingga sangat aneh apabila ingin berusaha mensejahterakan masyarakat tetapi justru menciptakan tarif pelayanan publik yang mahal dan tidak terjangkau rakyat miskin.
Tujuan tulisan ini adalah bagaimana UU. No.11 tahun 2009, tentang kesejahteraan sosial dapat terealisasi dengan baik. Sebagaimana Richard Titmuss (1975), mengatakan apabila usaha mensejahterakan masyarakat tidak dilakukan dengan tepat, alih-alih mencapai kesejahteraan sosial (social welfare) justru akan menimbulkan ketidaksejahteraan sosial (social illfare). Social illfare juga dapat terjadi akibat kebijakan-kebijakan sosial tidak tepat sasaran yang dilakukan oleh pemerintah untuk menangani kemiskinan di negeri ini. Kebijakan sosial adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik, dan merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, seperti mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak (Bessant, Watts, Dalton dan Smith: 2006). 
Dalam hal ini sangat diharapkan adanya kebijakan pengalokasian anggaran dari pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam memperhatikan kesejahteraan sosial. Terutama kesejahteraan bagi masyarakat yang kurang beruntung, seperti masyarakat yang cacat fisik, masyarakat miskin dan anak yatim (panti asuhan) dan lain-lain.*
Penulis: Masrizal, S.Sos.I, MA (Dosen pada Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Konsentrasi Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry, dan Sekretaris LSM LPU-Aceh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar