Sabtu, 15 Januari 2011

SUNAT ALA PEJABAT

Written by Masrizal, S.Sos.I, MA | Sekretaris LSM Lembaga Pengembangan Ummat (LPU-ACEH), Dosen Masalah Sosial Konsenterasi Kesos IAIN Ar-Raniry.   
Tuesday, 04 May 2010 11:48

REPRO TANBIHUN
KASUS BANK CENTURY dan Gayus Tambunan sudah cukup menyita perhatian bangsa ini. Skandal Century, berdasarkan laporan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) telah merugikan negara sebesar 6,7 Triliun Rupiah. Sebuah angka fantastis sehingga DPR-RI mengambil inisiatif untuk membentuk tim panitia khusus atau pansus yang terdiri dari 8 perwakilan partai besar di Indonesia (Demokrat, PDIP, Golkar, PKS, PAN, PKB, PPP, Gerindra, dan partai Hanura).

Singkat cerita kasus Century ini menjadi panas dibicarakan media nasional baik media cetak maupun media elektronik, dikarenakan dalam kasus ini melibatkan nama dua orang petinggi bangsa ikut disebut-sebut terlibat dalam skandal bank century, yakni wakil Presiden RI, Budiono dan Menteri Keuangan ibu Sri Mulyani. Kasus ini juga dihangatkan dengan terjadinya kecekcokan dalam tubuh tim Pansus yang dibentuk oleh anggota Legislatif dengan persetujuan Presiden, yakni retaknya Tim Koalisi yang dibentuk oleh SBY dan Boediono.
Menariknya lagi dalam kasus tersebut melahirkan buku Skandal Gila Bank Century yang ditulis Bambang Prasetyo, salah seorang tim Pansus dari Partai Golkar. Istilah gila menurut buku ini dikarenakan sampai dengan sekarang belum juga diketahui siapa yang bertanggungjawab atas pelanggaran pemberian kucuran dana talangan 6,7 Triliun, ditambah dengan rekomendasi DPR yang belum juga ditindak lanjuti oleh penegak hukum. Namun Kasus Century ini berdasarkan laporan tim KPK pada saat jejak pendapat dengan komisi III DPR-RI, telah berada dalam penyidikan lembaga tersebut. Kemarin, berdasarkan informasi dimedia bahwa telah dilakukan pemeriksaan baik Boediano maupun Sri Mulyani.
Selanjutnya kasus Gayus Tambunan telah menyeret petinggi Polri dan petinggi Kejaksaan ke meja hijau, dan bahkan ada yang harus menanggalkan jabatan yang baru didapatkan. Kasus ini bermula dengan laporan Komjen Susno Duadji, mantan Kabareskrim Polri yang mengatakan bahwa adanya Korupsi ditubuh lembaga Pajak. Sehingga sekarang ini sosok Susno Duadji yang dulu pernah menjadi perbincangan publik dengan kasus Cicak Vs Buaya (kasus Bibit - Chandra) yang membuat dirinya harus turun dari jabatannya namun belakangan gencar ‘bernyanyi’ dan lantas membongkar adanya markus ditubuh kepolisian dalam kasus Makelar Pajak, sehingga publik akhir-akhir ini menilai Susno Duadji adalah penyelamat bangsa.

Berdasarkan dari dua contoh kasus diatas sangatlah merugikan citra bangsa dimata dunia. Belum lagi negara kita merupakan salah-satu negara yang paling korup di dunia.  Dampak dari kasus-kasus memalukan ini membuat masyarakat Indonesia yang notabene belum merasakan kesejahteraan, baik itu secara individu maupun kelompok kian gerah akan perilaku pemimpin bangsa.

Di Aceh sendiri berdasarkan informasi dari media cetak dan elektronik, tingkat kesejahteraan masyarakat masih memprihatinkan. Terdapat deretan kasus-kasus yang merongrong hati nurani rakyat terus terjadi dan sepertinya sudah menjadi ‘makanan’ sehari-hari para pejabat. Seperti dibeberapa daerah sudah dibentuk panitia khusus untuk mengusut berbagai kasus ditubuh pemerintahan daerah. Kasus yang terjadi pun masih seputar korupsi atau istilah lain “Sunat Ala Pejabat”.

Padahal dalam agama Islam, “sunat” merupakan hal yang lazim sekaligus wajib dilakukan bagi setiap laki-laki muslim dan wanita. Bagi laki-laki, prosesi sunat dilangsungkan ketika anak laki-laki sudah berumur 8-12 tahun. Tapi kata “sunat” jadi lain jika ditarik ke area semacam soal pemotongan tak resmi terhadap anggaran, dana, gaji, dan sejenisnya. Contoh gaji yang mestinya bukan miliknya lantas disunat alias di korup. Dana yang seharusnya dinikmati rakyat banyak, malah menjadi sedikit, karena keburu disunat. Anggaran pusat ataupun daerah untuk kesejahteraan rakyat menjadi tersendat karena ‘mantri-mantri sunat’ terlalu banyak berkeliaran di kantor-kantor pemerintahan daerah.

Di Bener Meriah, berdasarkan laporan dari temuan Tim Anti Korupsi Pemerintah Aceh (TAKPA), telah terjadi penyimpangan dana sebesar 7,6 Milyar perihal pengadaan bibit kopi. Pihak DPRK Bener Meriah, membuat tim pansus untuk mengusut dana tersebut (lihat Kontras No. 539 tahun XII, 29 April - 05 Mei 2010).

Mengarah ke Bireuen, Pejabat Dinas Kesehatan diduga menyunat dana bantuan sosial yang diperuntukkan untuk Operasional Desa Siaga/Pos Kesehatan Desa (poskesdes) yang bersumber dari dana DIPA APBN 2009 Sebesar Rp. 775. 200.000. Padahal dana tersebut akan disalurkan untuk 608 desa yang ada di kabupaten tersebut, (Serambi Indonesia, 08 April 2010).

Kearah selatan Aceh, tepatnya Tapak Tuan, kasus penyimpangan proyek pengadaan 150 unit komputer pada Dinas Pendidikan kabupaten Aceh Selatan yang dananya bersumber dari dana Otsus 2009. Semula Anggaran ini untuk pengadaan 150 unit komputer tujuh Sekolah Menengah Atas (SMA) di daerah tersebut. Angkanya Rp. 1,7 Miliar (Waspada, 25 April 2010). Selanjutnya di Meulaboh, kasus fee Askeskin (Asuransi kesehatan untuk orang miskin), (Serambi Indonesia, 18 April 2010).

Menurut Ahren (1997), dalam bukunya yang berjudul Negara vs Kaum Miskin, menjelaskan bahwa pejabat bangsa ini harus menerapkan 5 hal pokok, antara lain: pertama, seorang pejabat hendaklah kredibel (dapat dipercaya), dalam hal ini pejabat bangsa harus amanah dan tidak berprilaku yang mengarah kepada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Kedua, seorang pejabat haruslah accuntable (bertanggung jawab), artinya pejabat hendaknya membuktikan kepada masyarakat yang dipimpinnya atas apa yang dilakukannya dan siap menerima segala resiko yang ditimbulkan oleh apa yang diperbuat.

Ketiga, pejabat hendaknya menjadi seorang yang partisipan (berperan serta), dalam hal ini seorang pejabat harus melibatkan masyarakat dalam keputusan yang diambil, atau dikenal dengan konsep bottom-up (keterlibtan masyarakat bawah). Keempat, prediktif (ramalan), seorang pejabat harus mampu memprediksikan kapan masyarakat merasakan kesejahteraan. Dan Terakhir, seorang pejabat hendaknya Transparan (terbuka), Hal ini menuntut seorang pejabat untuk terbuka kepada masyarakat yang di pimpinya.


Dari konsep di atas dituntut agar pejabat yang berwenang atau pemegang kekuasaan (Eksekutif, legislatif, dan yudikatif), agar menjadi pembuat kebijakan (policy makers) yang professional yang tujuannya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Semoga sisa kepemimpinan Bapak Irwandi-Nazar (IRNA) dapat mewujudkan kepemimpinannya yang Pro Rakyat, dengan tidak hanya beretorika dan menyebarkan berbagai baliho lebar-lebar sedangkan aplikasi ke masyarakat sangat minim. Begitu juga dengan politisi Aceh yang telah mendapatkan amanah dari rakyat sudah saatnya menjadikan janji-janji kampanyenya dulu sebagai kenyataan riil dan bukan hanya mimpi siang bolong. []
Masrizal, S.Sos.I, MA | Sekretaris LSM Lembaga Pengembangan Ummat (LPU-ACEH), Dosen Masalah Sosial Konsenterasi Kesos IAIN Ar-Raniry.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar