Rabu, 28 Januari 2009

Seputar kemiskinan di negara Indonesia

PENDAHULUAN

A. Latar belakang .
Penanganan masalah sosial yang dilakukan secara bersama dilandasi pada adanya komitmen‑komitmen dunia/global, regional dan komitmen nasional. Indonesia sebagai negara yang tentunya merupakan bagian dari sistim global secara bertahap telah melakukan berbagai upaya dalam mengimplementasikan komitmen dimaksud, hal ini didasari atas komitmen nasional yang mendasar, sebagaimana tertuang dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 27 dan 34 yang inti pokoknya adalah setiap warga negara berhak untuk memperoleh penghidupan yang layak dan berhak untuk memperoleh kesejahteraan . Dengan demikian pernbangunan ekonomi merupakan suatu bagian mencapai kesejahteraan bagi semua warga negara.
Kemiskinan merupakan masalah pokok nasional yang penanggu-langannya tidak dapat ditunda dengan dalih apapun dan harus menjadi prioritas utama dalam pelaksaan pembangunan kesejahteraan sosial Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang dikatagorikan sebagai fakir miskin termasuk katagori kemiskinan kronis (chronic poverty), yang membutuhkan penanganan yang sungguh‑sungguh, terpadu secara lintas sektor dan berkelanjutan. Selain itu terdapat juga warga masyarakat yang mengalami kerniskinan sementara (transient poverty) akibat bencana alam, bencana social atau situasi sulit lainya, jika tidak ditangani serius dapat mengalami masalah kemiskinan kronis.
Kondisi kerniskinan di Indonesia masih sangat mengkhawatirkan, apalagi setelah terjadinya krisis ekonomi yang dimulai pada tahun 1997. Padahal secara moral, bangsa Indonesia mempunyai komitmen global agar masyarakat Indonesia dapat hidup layak dari sudut ekonomi, sosial dan politik sesuai dengan sila ke 5 Pancasila dan pasal 27,28,31 dan 34 Undang‑Undang Dasar 1945. Namun sejak kemerdekaan tahun 1945 sampai saat ini, jumlah penduduk miskin Indonesia masih banyak. Namun demikian jumlah penduduk miskin saat ini relatif sudah menurun jauh apabila dibandingkan dengan jurnlah penduduk miskin pada tahun 1976 sebesar 54,2 juta jiwa atau 40,1%. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2003 menjadi 37,3 juta jiwa atau sebanyak 17,4%dari total penduduk atau menurun 1,1 juta jiwa jika dibandingkan dengan kerniskinan pada tahun 2002 yang mencapai 38,4 juta jiwa.
Kemiskinan yang digambarkan di atas, baru menunjukan kemiskinan dari aspek pengeluaran, padahal kerniskinan kemiskinan bersifat multidimensi. Sehingga kemiskinan tidak hanya dilihat dari aspek pengeluaran atau pendapatan tetapi harus juga dilihat dari kerniskinan sumber daya insani (human poverty) dan kemiskinan martabat (voicelessness, powerlessness, and vulnerability). Sehingga ukuran‑ukuran kemiskinan juga tidak hanya ukuran-ukuran yang telah disebutkan di atas, tetapi juga mencakup kondisi pernbangunan manusia, struktur usaha, ketimpangan gender, dan kesenjangan baik antar golongan pendapatan maupun antar wilayah.
Kondisi ini sangat ironis jika dibandingkan dengan kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia yang sangat melimpah dan terletak pada kawasan strategis. Namun banyak penyebab terjadinya kemiskinan, seperti kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada si miskin, rendahnya akses terhadap faktor produksi, modal, sarana dan prasarana publik, bencana alam, konflik sosial dan lain sebagainya. Kemiskinan multidimensi yang telah berlangsung lama dan sangat parah, sehingga sebagian kemiskinan yang ada dikatagorikan kemiskinan kronis.
Usaha‑usaha memerangi kerniskinan telah dilakukan sejak kemerdekaan dan secara nyata telah dapat menurunkan penduduk miskin. Banyak kebijakan, program dan anggaran penanggulangan kemiskinan yang telah dilaksanakan, tetapi belurn dilaksanakan secara terintegrasi. Sebagian besar kebijakan dilakukan secara sektoral dan masih terjadi tumpang tindih. Akibatnya efektifitas dari kebijakan penanggulangan kemiskinan kurang mencapai sasaran kalau tidak dikatakan gagal.
Untuk memerangi kemiskinan agar kualitas hidup dan kesejahteraan dapat ditingkatkan, diperlukan kerja sama, dukungan dan sinergi semua pihak baik sektor pemerintah daerah, masyarakat, maupun dunia usaha. Agar terdapat kesatuan gerak langkah untuk bersama sama memberdayakan masyarakat miskin, maka diperlukan strategi yang dapat dapat dijadikan pedoman dan acuan dalam memerangi kemiskinan di daerah.
B. Maksud dan tujuan
  1. Meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan sosial masyarakat miskin, melalui pendayagunaan sumber dan potensi untuk penanggulangan kemiskinan.
  2. Meningkatkan taraf kesejahteraan keluarga miskin.
  3. Meningkatkan kepedulian dan tanggung jawab sosial masyarakat dan dunia usaha dalam penanggulangan kemiskinan.
  4. Meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah masalah kemiskinan.
  5. Meningkatkan aksesibilitas keluarga miskin terhadap pelayanan sosial dasar, fasilitas pelayanan publik dan sistim jaminan sosial.
C. Pengertian
Kemiskinan adalah kondisi sosial ekonomi warga masyarakat yang tidak mempunyai kemampuan dalam memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusian.
Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyi sumber mata pencaharian tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan .
D. Permasalahan
Pada masa mendatahg harus disusun kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan secara terintegrasi yang melibatkan seluruh stakeholder secara partisipasif. Proses partisipasif dari masyarakat miskin menjadi sangat penting dalam penyusunan strategi penanggulangan kemiskinan, agar suara mereka dapat dijadikan kebijakan. Strategi yang disusun harus juga memperhatikan faktor internal dan eksternal, baik dari segi kelemahan, kekuatan, peluang, dan tantangan. Juga dukungan seluruh lapisan masyarakat baik dari pemerintah, swasta, dan masyarakat sangat diperlukan agar warga miskin dapat segera dikurangi di Indonesia.
Permasalahannya adalah : " Strategi yang seperti apa yang harus dilakukan agar efektif dalam memerangi atau menanggulangi kemiskinan ".



LANDASAN STRATEGI MEMERANGI KEMISKINAN

A. Paradigma
Dalam penanggulangan kemiskinan diperlukan adanya paradigma pembangunan yang melandasi strategi penanggulangan kemiskinan pada masa mendatang. Perubahan paradigma pembangunan tersebut antara lain: (1) paradigma eksklusi sosial (social exclusion paradigm) berubah menjadi inklusi sosial (social inclusion paradigm); (2) orientasi pembangunan dari pertumbuhan ekonomi menjadi pemerataan dan pertumbuhan ekonomi; (3) Masyarakat yang hanya. dijadikan, obyek pembangunan belaka berubah menjadi subyek pembangunan yang partisipatif.; (4) peran pernerintah tidak lagi sebagai provider (penyedia) namun beralih sebagai fasilitator atau enabler, (5) fungsi tata pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi; (6) pelayanan birokrasi yang birokrasi normatif menjadi responsif fleksibel; (7) dari sistem politik yang otokratis menjadi demokratis; (8) pengambilan keputusan dan penetapan kebijaksanaan yang top down menjadi bottom up dan top down‑, (9) pembangunan yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan menjadi pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan; (10) penanggulangan kemiskinan yang mementingkan kesetaraan gender; dan (11) pendekatan sektoral ke pendekatan wilayah.
B. Visi dan misi
Visi penanggulangan kemiskinan nasional sampai tahun 2015 adalah: Dipenuhinya kebutuhan dasar masyarakat miskin sehingga mandiri dan sejahtera melalui partisipasi seluruh pelaku pembangunan (stakeholder).
Misi penanggulangan kemiskinan nasional adalah:
1. Mewujudkan persepsi yang sama untuk menanggulangi kemiskinan bagi seluruh stakeholders, yaitu institusi Pemerintah (Pusat dan Daerah), lembaga legislatif, LSM/Civic Society Organisation (Organisasi Masyarakat Madani), dunia usaha, organisasi profesi, akademisi dan kelompok masyarakat lainnya (termasuk kelompok masyarakat miskin).
2. Menciptakan mekanisme yang efektif yang saling menguntungkan untuk memanfaatkan sumberdaya secara efisien dan efektif.
3. Menciptakan iklim yang mampu mendorong perluasan kesempatan bagi masyarakat miskin untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya serta memperoleh pelayanan publik yang tidak diskriminatif.
4. Meningkatkan akses dan parfisipasi masyarakat miskin dalam pengambitan kebijakan publik melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia, dan pemantapan kelembagaan sosial, ekonomi dan politik bagi masyarakat miskin.
5. Meningkatkan kemampuan dasar masyarakat miskin untuk peningkatan pendapatan melalui perbaikan kesehatan dan pendidikan, serta keterampilan.
6. Meningkatkan pendapatan masyarakat miskin melalui peningkatan kesempatan kerja dan berusaha dengan meningkatkan permodalan, pelatihan, pendampingan maupun penjaminan.
7. Mengurangi pengeluaran kelompok miskin melalui peningkatan pelayanan bagi pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, kesehatan, pendidikan dan perumahan.
8. Membangun sistem perlindungan sosial bagi masyarakat miskin dan kelompok masyarakat khususnya yang terkena bencana alam, dampak negatif dari krisis ekonomi dan konflik sosial.
9. Mendorong terciptanya kerjasama antara masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah dalam upaya memberdayakan kelompok masyarakat miskin.
10. Pemanfaatan sumberdaya alam dilaksanakan untuk masyarakat banyak secara berkelanjutan sesuai dengan kaidah‑kaidah pelbstarian lingkungan.


STRATEGI MEMERANGI KEMISKINAN

Dalam rangka memerangi menanggulangi kemiskinan, strategi yang harus dikembangkan adalah strategi kebijakan yang berpihak kepada orang miskin (pro‑poor policy). Strategi kebijakan yang berpihak kepada orang miskin tersebut selanjutnya harus diterjemahkan dalam pembangunan yang berpihak kepada orang miskin (pro‑poor development) dan pertumbuhan (ekonomi) juga harus berpihak kepada orang miskin (pro‑poor growth). Pengarusutamaan strategi penanggulangan kemiskinan dilakukan berdasarkan karakteristik wilayah, seperti daerah perkotaan, perdesaan, wilayah terpencil/terasing, daerah transmigrasi, daerah pesisir, daerah bencana dan daerah konflik.

A. Perluasan kesempatan
Kebijakan perluasan kesempatan meliputi kebijakan ekonomi makro, perluasan kesempatan kerja, perluasan kesempatan berusaha dan perbaikan pelayanan public. Dalam kebijakan perluasan kesempatan kerja dan perluasan kesempatan berusaha adalah dua kebijakan yang secara nyata akan mengurangi kemiskinan. Di samping itu perbaikan pelayanan publik juga perlu dilaksanakan untuk menjamin agar kebijakan perluasan kesempatan kerja dan perluasan kesempatan berusaha dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan.
Dalam rangka memperluas kesempatan (promoting opportunity) maka
pola kebijakan strategisnya adalah menciptakan kondisi ekonomi makro yang dapat mendorong upaya perluasan kesempatan kerja dan berusaha, kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, pengembangan wilayah strategis, tertinggal, wilayah perbatasan, wilayah perdesaan dan perkotaan, rehabilitasi wilayah pasca konflik, dan pelayanan publik yang adil dan merata sehingga mendukung pencapaian upaya‑upaya penanggulangan kemiskinan.
Program‑program perluasan kesempatan adalah: (1) program perluasan kesempatan; (2)Program memacu kebangkitan sektor riil; (2) penataan kelembagaan iklim usaha yang kondusif dan kompetitif; (3) program perluasan kesempatan berusaha; (4) Program Perluasan Kesempatan Kerja; (5) Program Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Alam; (6) Program Pengelolaan Sumber Daya Alam. dan Lingkungan Hidup; (7) Program Perlindungan dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam; (8) Program Pengelolaan Sumber Daya Alam. dan Lingkungan Hidup; (9) Program Pengeridalian Pencemaran Lingkungan Hidup; (10) Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup; (11) Program Perbaikan Pelayanan Publik;


B. Pemberdayaan Masyarakat
Dalam rangka upaya pemberdayaan masyarakat maka pola kebijakan strategisnya adalah mningkatan kualitas sumberdaya manusia, pemantapan organisasi dan kelembagaan masyarakat sehingga mampu mengakses berbagai kesempatan dan berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan publik.
Kebijakan peningkatan keberdayaan masyarakat diarahkan untuk memberikan solusi masalah‑masalah mendasar yang terkait dengan akar kemiskinan dan ketakberdayaan masyarakat, yaitu kemiskinan kronis,yang disebabkan oleh faktor‑faktor struktural terutama kebijakan. Kebijakan sektor yang terkait dengan asset masyarakat: (a) Aset insani (human capital, yang meliputi: (1) Penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak‑hak dasar, baik hak kewargaan dan politik maupun hak sosial, ekonomi dan budaya; (2) Penyadaran (conscientization) menuju kesadaran kritis masyarakat; dan (3) Peningkatan kapabilitas dan partisipasi dalam penentuan kebijakan publik ke arah hidup yang bermartabat; (b) Aset sosial (social capital), yang meliputi: (1) Pengakuan dan pengukuhan norma, saling percaya (mutual trust) dan jejaring sosial; dan (2) Perluasan ruang publik dan kebebasan masyarakat untuk mengembangkan swa‑organisasi (KSM, LPSM, CSO) dan aliansi strategis Penanggulangan Kemiskinan ; (c) Sumber daya alam (natural capital), yang meliputi: (1) Pengakuan dan pengukuhan hak‑hak masyarakat atas sumberdaya alam, termasuk hak ulayat; (2) Mendorong penyusunan tata ruang partisipatif; dan (3) Manajemen pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan; (d) Aset fisik (physical capital), yang meliputi: (1) Pengembangan sarana dan prasarana dasar untuk mengurangi keter‑isolasian, memperkecil biaya transaksi serta meningkatkan akses masyarakat; dan (2) Memperluas akses informasi melalui pengembangan informasi tehnologi; (e) Aset finansial (financial capital), yang meliputi: (1) Basis legal (UU) bagi keuangan mikro dan . (2) Meningkatkan portopolio pembiayaan UMKM dan menyederhakan prosedur/persyaratan akses UMKM; (f) Kearifan lokal (spiritual dan cultural capital), yang meliputi: (1) Mengakui keberadaan dan mengurangi campur tangan pemerintah terhadap berbagai kearifan lokal (yang berbasis keagamaan maupun tradisi); dan (2) Memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga berbasis kearifan lokal yang professional dan amanah.
Kebijakan yang terkait dengan pernbangunan wilayah/daerah dan
pengembangan sentra‑sentra kemandirian ekonomi rakyat, yaitu: (a)
Mendorong/memfasilitasi berkembangannya Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes), yang meliputi: (1) Sebagai badan usaha milik masyarakat yang
dikelola sebagai usaha bersama dari, oleh dan untuk rakyat, melalui optimalisasi pernanfaatan sumber daya lokal; dan (2) Dapat berkembang berdampingan dengan koperasi murni; (b) Mengembangkan jaringan kerjasama usaha ke arah terbentuknya klaster‑klaster usaha ekonomi masyarakat perdesaan yang menghasilkan produk‑produk unggulan bernilai
tambah tinggi dan berdaya saing, atas dasar kombinasi pendekatan berbasis
sumberdaya dan berbasis pasar; (c) Berkembangnya gerakan masyarakat terkait dengan: (a) Peningkatan aset dan kapabilitas serta partisipasi kelompok miskin; (b) Penanggulangan kemiskinan sebagai tanggung jawab bersama sefta meningkatnya kepedulian dan kesetiakawanan sasial berdasarkan kearifan lokal; dan. (c) Peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat sebagai entitas (secara keseluruhan). Kebijakan lain yang sangat penting guna mendukung kebijakan tersebut diatas adalah aktualisasi dari tiga kebijakan dasar yang telah diletakkan dalam era reformasi, meliputi : (1) elaborasi dan aktulisasi HAM kearah "entitlemenf' bagi kelompok miskin, (2) pengembangan lebih lanjut demokratisasi termasuk demokrasi akar rumput, dan (3) pengembangan otonomi daerah kearah otonomi masyarakat.
Kebijakan peningkatan keberdayaan masyarakat lainnya adalah: (1) Peningkatan kualitas pelayanan publik terutama pelayanan dasar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat; dan (2) Peningkatan kapasitas masyarakat untuk dapat mandiri, berpartisipasi dalam proses pembangunan dan mengawasi jalannya pernerintahan.
Pada dasarnya terdapat dua jenis program pokok dan satu program kajian : (1) Program pemberdayaan masyarakat generasi baru yaitu: (a) Program-program terpadu berbasis kewilayahan yang didesaign berdasarkan 3 kriteria yaitu proses, substansi dan keberlanjutan; (b) Secara sustantif merupakan sinergi komponen‑komponen Tridaya Plus; (c) Disempumakan dengan secara eksplisit memasukkan unsur local good governance dan lebih merupakan inisatif Pemda bersama masyarakat; dan (d) Dikembangkan untuk memecahkan akar kemiskinan pada masing-masing target wilayah/kelompok, seperti komunitas pesisir sekitar hutan, pertanian, perkotaan, dan lain‑lain; (2) Program swadaya masyarakat, yaitu: (a) Program-program yang berskala retatif kecil, tersebar dan heterogen berdasarkan inisiatif dan kreativitas masyarakat lokal yang difasiltasi LSM; (b) Semakin bergeser dari sifat karitas menuju pemberdayaan masyarakat (menyantuni dengan memberi kail daripada sekedar ikan), sejalan dengan berkembangnya pemahaman terhadap kemiskinan dan pergeseran peran LSM; (3) Program penguatan dan pemberdayaan tripartit; (4) Program Penerapan Prinsip‑prinsip Tata Pernerintahan yang baik Good Govemance).Tujuan dan program ini adalah untuk mengurangi dan menghilangkan penyalahgunaan kewenangan dalam birokrasi serta untuk menciptakan etika birokrasi dan budaya kerja yang baik. Program ini dilakukan melalui upaya untuk: (a) membangun pemahaman, penghayatan dan pelaksanaan keterbukaan, kebertanggungjawaban, dan ketaatan hukum, serta membuka partisipasi publik seluas‑luasnya pada semua kegiatan pembangunan, dan (b) menciptakan etika birokrasi dan budaya kerja yang mendukung tugas dan fungsi penyelenggaraan negara; (5) Program Peningkatan Kapasitas Organisasi Masyarakat.

C. Peningkatan kapasitas dan sumber daya manusia
Dalam rangka upaya peningkatan kemampuan (capacity budding) maka pola kebijakan strategis yang dipilih adalah peningkatan kemampuan dasar masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatan melalui langkah perbaikan kesehatan dan pendidikan, peningkatan ketrampilan usaha, permodalan prasarana, teknologi serta informasi pasar.
Program peningkatan kapasitas dan sumberdaya mahusia adalah: (1)
Peniongkatan Kapasitas dan Sumberdaya Manusia, yaitu : (a) Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat; (b) Program Lingkungan Sehat; (c) Program Upaya Kesehatan Masyarakat; (d) Program Upaya Kesehatan Perorangan; (e) Program pencegahan dan Pemberantasan Penyakit; (f) Program Perbaikan Gizi Masyarakat; (g) Program Sumber Daya Kesehatan; (h) Program Pendidikan Anak Usia Dini; (i) Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun; (j) Program Pendidikan Menengah; (k) Program Non Formal dan Informal; (1) Program Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan; (m) Program Keserasian Kebijakan Peningkatan Kualitas Anak; (n) Program Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak (o) Program Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja; (p) Program Peningkatan Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan; dan (q) Program Kebijakan, Kelembagaan, dan jaringan Pengarusutamaan Gender.


D. Perlindungan sosial
Dalam. rangka upaya perlindungan sosial (social protection) maka pola kebijakan strategis yang dipilih adalah memberikan perlindungan dan rasa aman bagi semua penduduk sebagai pemenuhan hak azasi setiap warga Negara khususnya bagi masyarakat miskin, dengan prioritas utama kelompok masyarakat yang paling miskin (fakir miskin, orang jompo, anak terlantar, cacat) dan kelompok masyarakat miskin yang disebabkan oleb bencana alam, dampak negatif krisis ekonomi dan konflik sosial yang diarahkan melalui peningkatan kernampuan kelompok masyarakat dalam menyisihkan sebagian dari penghasilan mereka melalui mekanisme tabungan kelompok (pooledfunds).
Program‑program perlindungan sosial, meliputi: (1) program bantuan sosial; (2) Program Rehabilitasi Sosial; (c) Program Pemberdayaan Potensi dan Pengembangan Perlindungan Sosial; (d) Program Pelestarian dan Pemanfaatan Kearifan Lokal; (e) Program Peningkatan Tabungan Sosial Masyarakat; dan (f) Program Jaminan Sosial.
F. Mekanisme pelaksanaan dan kelembagaan.
Program Penanggulangan Kemiskinan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya dilaksanakan oleh sektoral sesuai dengan lingkup pekerjaannya. Program Penanggulangan Kemiskinan dapat dilaksanakan secara nasional atau secara spesifik di daerah tertentu. Penjabaran kegiatan dari program tersebut tentunya disesuaikan dengan kondisi lokal setempat. Mengingat sasaran masyarakat miskin dapat menjadi pelaksanaan berbagai program, maka diperlukan lembaga yang bertanggung jawab agar terjaminnya pelaksanaan program yang tepat sasaran.
Penunjukan lembaga yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan tentunya diserahkan kepada Pemerintah Daerah setempat. Dengan demikian, departemen/instansi teknis baik di tingkat pusat maupun daerah hanya berfungsi sebagai penjamin kualitas pekerjaan (quality assurance). Lembaga yang bertanggung jawab disarankan lembaga yang dibentuk di bawah tanggung jawab Pemerintah Daerah setempat. Dalam pelaksanaan program di lapangan, lembaga tersebut dapal bekerja sama dengan LSM setempat.



KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Kemiskinan di Indonesia masih sangat memerlukan perhatian dari sernua pihak.
2. Faktor penyebab kerniskinan adalah faktor internal clan faktor stuktural .
3. Lanclasan strategi memerangi kerniskinan adalah dengan paradigma, visi dan misi memerangi kemiskinan.
4. Strategi memerangi kerniskinan adalah dengan: Perluasan kesempatan ,pemberdayaan masyarakat, peningkatan kaspasitas clan sumber daya manusia, perlinclungan sosial clan mekanisme pelaksanan kelembagaan.

B. Saran
1. Perlu adanya keterpacluan program antar instansi terkait dalam memerangi kerniskinan.
2. Perlu adanya pengkajian strategi dan program penanggulangan kemiskinan secara berkeslinambungan.
3. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota membentuk lembaga untuk pelaksanaan program‑program penanggulangan kerniskinan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Agnes Sunartingingsih, Ms, Dra, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, 2004, Aditya Media, Yogyakarta
2. Arsyad, Lincolin, 1999, Ekonomi Wro, BPFE, YogyakartaAlfian, Kemiskinan Struktural, Yayasan 11mu‑11mu Sosial, Jakarta
3. Biro Pusat Statistik, 2003, Data dan Informasi Kemiskinan
4. Edi Suharto, Msc, Drs, 1997, Pembangunan , Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Lembaga Studi Pembangunan, Bandung
5. Kuncoro Mudrajat, 1997, Ekonomi Pembangunan, BPFE UGM, Yogyakarta
6. Sunyoto Usman, Dr, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Pustaka pelajar Offset, Nopernber 1998.
7. Sumodiningrat Gunawan, dkk, 1999, Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat, PT Bina Rena Pariwara, Jakarta
8. Sumodiningrat, Gunawan, 1999, Pemberdayaan Masyarakat dan JPS, PT Gramedia Pustaka Utarna, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar